BAB
I
PENDAHULUAN
1.1Latar
Belakang
Walaupun biaya investasi untuk perkebunan Kelapa
Sawit di lahan Gambut lebih mahal, namun Kelapa Sawit terus ditanam
di lahan Gambut di Indonesia. Disamping itu pengembangan kebun Kelapa Sawit di
lahan Gambut juga telah menjadi issue lingkungan yang menarik perhatian
masyarakat dunia dan juga menyebabkan berbagai dampak sosial. Sebagai penyebab
utama terjadinya Deforestrasi dan degradasi, dianggap oleh kalangan
environmentalis adalah karena luasnya pembangunan perkebunan di lahan Gambut.
Best Management Practice untuk perkebunan kelapa sawit
di lahan Gambut diawali dengan pemilihan lokasi yang tepat dan pelaksanaan
analisa mengenai dampak lingkungan dengan seksama. Selain daripada itu :
Para pekebun
harus telah memahami dengan baik pengetahuan tentang Jenis dan karakteristik
Gambut yang sesuai atau tidak sesuai untuk ditanami dengan kelapa sawit.
Para pekebun
harus memahami tentang Pengelolaan Tata Air yang efektif dan Pengelolaan
Pemupukan di lahan Gambut serta Integrated Pest Management.
Masih sangat besar peluang dan tantangan untuk
membangun perkebunan kelapa sawit di lahan Gambut, dan sepanjang semua itu
dilaksanakan melalui proses pengkajian dan ke hati hatian serta proses
pelatihan tentang gambut maka seyogyanya pembangunan tersebut tidak akan
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial secara luas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembentukan gambut
Berdasarkan proses pembentukannya, terdapat dua
jenis gambut diwilayah tropis, yakni Obrogen dan Topogen.Pembentukan
tanah gambut merupakan proses Geogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi dari timbunan sisa-sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum mati, sedangkan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses Pedogenik.
Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap
membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut
dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman
berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan
secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh
(Gambar 1 dan 2).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal
tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan
oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur
(eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu,
misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah
kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas
gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama
kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung
(Gambar 3). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih
rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.
Gambar berikut adalah ilustrasi dari Proses
pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: 1.Pengisian danau dangkal
oleh vegetasi lahan basah, 2. Pembentukan gambut topogen, dan 3. pembentukan
gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).
Gambar 1. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan
basah
Gambar 2. Pembentukan gambut topogen
Gambar 3. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut
topogen
2.2 Klasifikasi gambut
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal
sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan
organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g
cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g
cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai
sudut pandang yang berbeda; dari Tingkat Kematangan, Kedalaman, Kesuburan dan
Posisi Pembentukannya.
2.3Tingkat Kesuburan Gambut
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan
menjadi:
Eutrofik adalah gambut
yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya.
Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi
oleh sedimen sungai atau laut.
Mesotrofik adalah
gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang
Oligotrofik adalah
gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah
gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya
tergolong gambut oligotrofik
Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut
mesotrofik dan oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofik di Indonesia
hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur
aliran sungai.
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan
bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan
lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan
gambut di Kalimantan.
2.4Potensi lahan gambut untuk
Kelapa Sawit
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong
sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti
karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas
kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan
kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral
(Djainudin et al., 2003).
Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai
kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini
disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile)
apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Pengelolaan air
Reklamasi gambut untuk Kelapa Sawit memerlukan
jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah
dan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Sistem
drainase yang tepat dan benar sangat diperlukan pada lahan gambut, baik untuk
tanaman pangan maupun perkebunan. Sistem drainase yang tidak tepat akan
mempercepat kerusakan lahan gambut.
Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air
lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran.
Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal
dan tidak terlalu dalam.
Tanaman Kelapa Sawit memerlukan saluran drainase
dengan kedalaman 50-80 cm. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi
penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut
akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun.
Pengelolaan kesuburan tanah
Unsur hara utama yang perlu ditambahkan untuk Kelapa
Sawit di lahan gambut terutama adalah unsur P dan K. Tanpa unsur tersebut
pertumbuhan tanaman sangat merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat
rendah.
Sedangkan unsur hara lainnya seperti N dibutuhkan
dalam jumlah yang relatif rendah karena bisa tersedia dari proses dekomposisi
gambut.
Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi
segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan
bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam
waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan.
Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor,
antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi,
kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan
lahan (Stewart, 1991; Salmah et al., 1994, Wösten et al.,
1997).
Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat
komponen:
1. Konsolidasi yaitu pemadatan
gambut karena pengaruh drainase. Dengan menurunnya muka air tanah, maka terjadi
peningkatan tekanan dari lapisan gambut di atas permukaan air tanah terhadap
gambut yang berada di bawah muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi
(menjadi padat).
2. Pengkerutan yaitu
pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena proses
drainase/pengeringan.
3. Dekomposisi/oksidasi yaitu
menyusutnya massa gambut akibat terjadinya dekomposisi gambut yang berada dalam
keadaan aerobik.
4. Kebakaran yang menyebabkan
menurunnya volume gambut.
Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama
penentu kecepatan subsiden karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan
pemupukan.
Proses subsiden berlangsung sangat cepat; bisa
mencapai 20-50 cm tahun-1 pada awal dibangunnya saluran drainase (Welch
dan Nor, 1989), terutama disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan
pengkerutan. Dengan berjalannya waktu maka subsiden mengalami kestabilan. Pada
kasus di Sarawak, seperti diperlihatkan pada Gambar 9, subsiden mencapai
kestabilan pada tingkat 2±1,5 cm tahun-1 sesudah sekitar 28 tahun semenjak
lahan didrainase. Kedalaman muka air tanah rata-rata mempunyai hubungan linear
dengan tingkat subsiden.
Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka
dalam 25 tahun (satu siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun
sekitar 100 cm. Untuk tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan PIRIT dangkal)
maka subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit sehingga PIRIT teroksidasi
membentuk H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami
lagi.
Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya
kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan
setebal satu meter, maka lahan gambut tersebut akan kehilangan kemampuannya
dalam menyangga air sampai 90 cm atau ekivalen dengan 9.000 m3 ha-1.
Dengan kata lain lahan disekitarnya akan menerima 9.000 m3 air
lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan
air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima
oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan
rentan kekeringan pada musim kemarau.
2.5Penyiapan Lahan Gambut untuk
Kelapa Sawit
Karakteristik Fisik Gambut yang telah di uraikan
dimuka, merupakan alasan utama dibangunnya sistim tata air pada tahap awal
penyiapan lahan di lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit.
Sistim Tata Kelola Air termasuk drainase dan menjaga
air permukaan untuk mencegah terjadinya kekeringan merupakan awal yang
baik untuk keberhasilan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
Sistim Tata Kelola Air ini harus dibuat dengan
perencanaan yang seksama dengan melakukan survey pada saat musim kemarau dan
survey ketika musim hujan. Pada saat musim hujan, sistim harus dapat menampung
semua volume aliran air agar aerasi perakaran kelapa sawit tidak terganggu
karena terendam. Sebaliknya pada musim kemarau, air harus dapat dijaga
ketinggian permukaannya agar tanaman kelapa sawit tidak stress karena keringnya
gambut. Dalam hal ini, diperlukan pintu air yang berperan mengatur level
permukaan air antara 50 hingga 80 cm dari permukaan gambut.
Apabila memungkinkan, Parit Utama (Main
Drain) di buat pada parit alam yang sudah ada sedangkan Parit koleksi
(Collection Drain) dibuat setiap 200 meter di sisi blok kebun
yang lebih panjang yang levelnya lebih rendah, agar air dapat mengalir
mengikuti kemiringan dan tidak perlu dibuat titi panen. Parit Cacing dibuat
dengan interval 5 – 8 baris atau setiap 50 meter tergantung ukuran blok yang
direncanakan.
Kedalaman awal dari parit yang dibuat berfungsi untuk
menahan penurunan permukaan gambut secara fisik dan terjadinya pemadatan alami
dari material gambut sebanyak-banyaknya 1 meter pada tahun pertama. Pemadatan
biasanya terjadi seiring dengan penurunan gambut mengikuti parit yang dibuat
dan setelah itu rata rata penurunan gambut harus di kontrol dengan cara
memanipulasi permukaan air pada parit.
Pemadatan gambut yang sesuai akan memberikan dampak
baik pada kapilaritas dan penyimpanan air sehingga memperbaiki kekuatan berdiri
dari tanaman sawit, meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman,
mengurangi risiko mudah terbakar, serangan rayap dan semut dan
mendorong pertumbuhan dan produktifitas tandan buah segar.
Lahan dapat dipertimbangkan untuk siap ditanami
setelah semua jaringan parit selesai dibuat dan jalur tanam sudah dibersihkan
serta titik tanam sudah dipadatkan. Penanaman Cover Crop di lahan gambut adalah
bukan untuk fiksasi nitrogen dan mencegah erosi , karena tidak ada manfaat dari
fiksasi nitrogen pada pH yang rendah; dan pada lahan gambut tidak mungkin
terjadi erosi karena umumnya datar. Justru penanaman crover crop menambah
risiko terjadinya kebakaran pada musim kemarau apabila tidak dilakukan pengawasan
yang ketat. Penanaman cover crop masih diperlukan hanya untuk menekan
pertumbuhan gulma dan membantu pelapukan sisa tebangan serta menekan
perkembang-biakan kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros).
2.6 Pemupukan
Pemupukan tepat jenis, tepat dosis dan tepat
waktu adalah dasar dari keberhasilan untuk memperoleh produktifitas
kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut dalam. Aplikasi Reactive
Rock Phosphate ( RRP) bersama abu janjang atau abu kayu bakar bila
abu janjang tidak tersedia. Semua di letakkan di sekeliling piringan
untuk meningkatkan ketersediaan unsur N, Phospor (P), K, melalui peningkatan
dekomposisi gambut serta mineralisasi.
Bila abu janjang dan abu kayu bakar tidak tersedia,
maka dapat digunakan pupuk mineral sebagai berikut :
Nitrogen
Gambut mengandung N dalam jumlah besar. Seperti yang
telah diuraikan dimuka, aplikasi kapur, atau material lain yang memiliki pH
tinggi seperti abu janjang, abu kayu bakar, atau rock phosphate (RP) akan
meningkatkan dekomposisi danmineralisasi N. Aplikasi N sebanyak 0,6
kg per pokok per tahun (lebih kurang 1,25 kg Urea per pokok) adalah
tepat pada tahun pertama di tanam di lapangan.
Phospor
Aplikasi 300 – 400 gram P2O5 per
pokok per tahun adalah dosis yang tepat untuk kelapa sawit pada masa TBM (
Tanaman Belum Menghasilkan). Disebabkan keasaman gambut sangat tinggi, aplikasi
RRP ( 1 – 1,25 kg per pokok per tahun merupakan sumber P yang utama.
Kalium
Kalium merupakan unsur yang umumnya merupakan unsur
hara yang kurang tersedia (deficient) pada lahan gambut. Aplikasi K2O sebanyak
2 – 4 kg per pokok per tahun dalam bentuk pupuk KCL selama masa
pertumbuhan kelapa sawit.
Magnesium
Magnesium (Mg) jarang menjadi tidak tersedia di lahan
Gambut, namun akibat aplikasi K maka Mg menjadi kurang tersedia. Pemupukan Mg
lebih ditujukan untuk koreksi atas kemungkinan kekurangan yang terjadi.
Kalsium
Kalsium sebagai unsur hara tambahan umumnya tidak
diperlukan, karena Ca merupakan komponen Kapur yang sejak awal sudak di
rekomendasi untuk di aplikasikan guna meningkatkan dekomposisi gambiut.
Copper
Copper akan diserap oleh humic dan fulfic acid yang
terdapat pada bahan organik. Oleh karenanya defisiensi unsur mikro
Cu pasti terjadi di lahan gambut. Defisiensi Cu dapat di
identifikasi sebagai penyebab “mid-crown chlorosis”, yang
sangat mengganggu pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan produksi TBS rendah.
Boron
Ketersedian Boron di lahan Gambut umumnya tidak
mencukupi untuk keperluan pertumbuhan kelapa sawit. Aplikasi Borate sebanyak
0,1 kg per pohon adalah langkah pencegahan terjadinya defisiensi
Boron.
Zinc
Guna mencegah defisiensi Zn, yang berhubungan dengan
penyimpangan unsur hara yang disebut “peat yellows”, aplikasi pupuk
majemuk yang mengandung Zn dan unsur mikro lainnya harus dilakukan selama masa TBM.
2.7 Dampak pH dalam Ketersediaan
Hara
pH ekstrim akan melepaskan sejumlah substansi dalam
tanah dan dapat meracuni tanaman. Tanah Masam seperti Gambut akan melarutkan
sejumlah unsur metal seperti alumunium dan mangan, sedangkan tanah basa akan mengakumulasi
garam dan Natrium Karbonat dalam konsentrasi beracun yang dapat merubah
struktur tanah sehingga menyebabkan perakaran tanaman
sulit berkembang. Dalam situasi ini, sistim perakaran akan sulit
menyerap air dan unsur hara. Demikian juga halnya pada tanah masam, yang
mengandung racun dari unsur metal, dimana unsur hara yang diperlukan tanaman
pada subsoil tereduksi dan perakaran sulit berkembang bahkan dapat menyebabkan
kematian.
pH mendekati netral sekitar 6,5 merupakan kondisi yang
favorable untuk terjadinya penyerapan unsur hara oleh tanaman. Pada kondisi
ini, mikroba dalam tanah menjadi sangat aktif terutama untuk terjadinya fiksasi
nitrogen. Sedangkan pada tanah masam seperti Gambut, mikroba tanah akan
mengalami dorman sehingga tidak akan terjadi fiksasi nitrogen dalam tanah. Oleh
karenanya pengapuran yang dilakukan pada lahan Gambut adalah mutlak dilakukan
agar mikroba tanah menjadi aktif dengan naiknya pH tanah dan kondisi tanah
menjadi favorable untuk terjadinya penyerapan unsur hara oleh tanaman.
Pola tanam kelapa sawit di Lahan Gambut
Project Bintulu Sarawak
Project Kelapa Sawit di Bintulu, Sarawak; telah
melakukan tanam kelapa sawit di lahan gambut dengan cara yang tidak
lazim, namun ternyata telah memberikan bukti nyata yang posistif untuk
mengatasi daya dukung gambut yang lemah.
Semua Bibit Kelapa Sawit ditanam dengan cara miring
30 derajat pada jalur tanam.
maaf mbak, boleh minta referensi tentang penanaman cara miring.
BalasHapus